Menelisik Prosesi Mosehe Peohala Owose, Denda Pelanggaran Adat Tolaki Yang Diberikan Kepada KPU Sultra

Mohese Peohala Owose atau Denda Pelanggaran Adat berat, yang diberikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Prosesi adat ini berlangsung di Kantor Dewan Pengurus Pusat Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra pada Minggu 23 Februari 2025. 

Denda adat Mohese Peohala Owose yang diberikan kepada KPU Sultra mencakup satu ekor kerbau putih , satu pis kain kafan, dan satu cerek air. 

Beginilah prosesi upacara Mosehe Peohala Owose yang digelar oleh Forum Organisasi Masyarakat Sulawesi Tenggara (FORSA) sebagai sanksi untuk KPU Sultra.

Mulanya, prosesi Mosehe dipandu oleh para ketua adat Tolea Pabitara dan diawali dengan sidang adat penjatuhan hukuman atau disebut Mombesara. Setelah putusan adat dijatuhkan, prosesi dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh Mbusehe agar Provinsi Sultra terhindar dari masalah. 

Kemudian, puncak prosesi adat ditandai dengan penyembelihan kerbau putih oleh Mbusehe sebagai simbol penyelesaian masalah adat. Salah satu perwakilan Forsa, Sudi, menjelaskan bahwa tiga jenis denda yang dijatuhkan memiliki makna mendalam dalam tradisi adat Tolaki.

“Kerbau yang disembelih melambangkan orang yang terkena hukuman adat. Sementara kain kafan dan cerek air merepresentasikan ritual pembersihan sebagai simbol kembalinya kesucian bagi daerah ini,” jelas Sudi.

Pengurus Besar DPP LAT Sultra ini menjelaskan bahwa sanksi adat ini diberikan karena KPU Provinsi Sultra dianggap telah melakukan pelanggaran berat dalam hubungannya dengan lembaga adat Tolaki. Menurutnya, pelanggaran tersebut sangat serius dan berpotensi mengganggu harmoni masyarakat Sultra.

“Kami ingin menyampaikan bahwa ini adalah bentuk hukuman adat yang dilakukan karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi Sultra,” ujar Sudi.

Ia juga menegaskan bahwa Sultra merupakan daerah yang dihuni oleh berbagai suku, namun masyarakat Tolaki berkomitmen untuk menjaga kesatuan dan kedamaian. Sudi mengingatkan agar tidak ada pihak yang mencoba mengadu domba antarsuku di wilayah tersebut.

“Kami tidak ingin ada pihak yang mencoba mengadu domba antarsuku di daerah ini. Kami, masyarakat Tolaki, ingin agar kita semua bersatu untuk menciptakan suasana yang aman dan tertib di kampung ini,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua KPU Sultra, Asril, mengaku bahwa kesalahan tersebut terjadi karena pihaknya tidak mencantumkan peran lembaga adat Tolaki dalam tahapan penetapan Gubernur-Wakil Gubernur terpilih (Andi Sumangerukka- Ir Hugua) beberapa waktu lalu. 

Meskipun kemudian dilakukan revisi, menurutnya hal itu merupakan kelalaian yang perlu mendapatkan penanganan secara adat.

“Sesungguhnya kami tidak sempat mencantumkan lembaga adat (Tolaki), kemudian kami lakukan revisi. Tentu ini sebuah kelalaian, sehingga perlu perlakuan khusus,” katanya.

Selain itu, pihak KPU diminta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada pengurus LAT, organisasi masyarakat, dan seluruh warga Sultra.

Dengan terlaksananya prosesi Mosehe dan penyelesaian secara adat, diharapkan hubungan antara KPU Provinsi Sultra dan lembaga adat Tolaki dapat kembali harmonis serta menjaga nilai-nilai budaya lokal dalam setiap kebijakan yang diambil

Pengurus Besar DPP LAT Sultra menyatakan bahwa permasalahan ini telah diselesaikan dengan penandatanganan kesepakatan antara kedua belah pihak dan Denda Pelanggaran Adat ini. (Red) 

Related posts