Latar belakang perlawanan
Sejak abad ke-13 di daerah Kolaka terdapat sebuah kerajaan yang disebut Mekongga. Menurut silsilah raja-raja Mekongga,raja-raja yang memerintah di sana berasal dari dinasti LARUMBALANGI (Larumpalangi) termasuk keluarga Sawerigading.
Dengan demikian jelas bahwa raja-raja Mekonga mempunyai pertikaian darah dengan raja-raja Luwu dan Bone di Sulawesi Selatan. Penduduk kerajaan Mekongga itu menyebut diri sebagai suku bangsa Tolaki. Di samping dengan kerajaan Luwu dan Bone mempunyai pula hubungan kekeluargaan yang sangat dekat dengan raja-raja di Konawe.
Dari wilayah yang terbatas luasnya, kemudian berkembang dan pada akhirnya kerajaan Mekongga mempunyai areal yang menempati bagian barat jazirah tenggara Sulawesi dengan memiliki batas-batas sebagai berikut:
- Pada sebelah utara berbatas dengan wilayah kerajaan Luwu
- Pada sebelah timur berbatas dengan wilayah kerajaan Konawe
- Pada sebelah selatan berbatas dengan wilayah kerajaan Toburi/Moronene yang kemudian menjadi wilayah kesultanan Buton; dan
- Pada sebelah barat berbatas dengan Teluk Bone.
Wilayah kerajaan Luwu di jaman lampau, sekarang merupakan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Luwu.Demikian pula halnya wilayah kerajaan Konawe dan wilayah kesultanan Buton,kini merupakan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendari dan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Buton, sedangkan kerajaan Mekongga sendiri, sekarang ini disebut Kabupaten Daerah Tingkat II Kolaka.
Sebagai suatu kerajaan, Mekongga mencapai puncak kejayaannya kira-kira pada abad ke 17. Pada saat itu memerintah seorang raja yang bernama LADUMA dengan gelar Bokeo. Raja inilah yang pertama menerima agama Islam menjadi agama penduduk di seluruh wilayah kerajaan Mekongga.
Pada jaman pemerintahan Bokeo LADUMA di Mekongga terjadilah sengketa antara Gowa dengan Bone yang kemudian berkembang menjadi peperangan antara Sultan Hasanuddin dengan Aru Palaka. Dalam peperangan antara Gowa dengan Bone, Belanda(VOC) membantu Bone.
Turut memihak Bone antara lain Sultan Buton dan sedangkan Datu Luwu memihak Gowa. Oleh sebab itu Datu Luwu yang bernama Alimuddin memerangi Belanda yang pada akhirnya tertawan dan diasingkan ke Buton pada tahun 1665. Karena Raja(Datu)Luwu sudah diasingkan, formasi raja diisi oleh Patunru yaitu sepupu Datu Alimuddin.
Setelah perang Gowa berakhir dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya pada tahun 1667, Datu Alimuddin dibebaskan lalu kembali ke Luwu, tetapi kedudukannya telah dikuasai oleh Patunru sebagai Datu. Terjadilah perang saudara di mana kerajaan Mekongga terpaksa angkat senjata melawan Datu Alimuddin karena membela Datu Patunru yang menyingkir dan meminta bantuan Bokeo LADUMA,raja Mekongga.
Dalam peperangan itu Datu Alimuddin tewas, dan menyebabkan tentera Luwu kalang kabut dan akhirnya cerai-berai. Sedangkan bendera perang Luwu dirampas oleh tentara Mekongga. Bendera tersebut berwarna merah putih bertuliskan huruf Arab dengan kalimat tauhid.
Dengan kemenangan tentara Mekongga terhadap tentara Datu Alimuddin yang ditandai dengan tewasnya raja dan jatuhnya bendera perang Luwu ke tangan raja Mekongga, maka Patunru kembalilah ke Luwu melanjutkan pemerintahannya selaku Datu Luwu yang bebas dari saingan.
Dengan sendirinya persahabatan Luwu dengan Mekongga menjadi lebih erat. Penghubung atau perantara dalam persahabatan itu, ditempatkanlah seorang pejabat di Lelewawo dalam wilayah Mekongga dengan gelar Mokole dalam bahasa Tolaki atau Mincara Ngapa dalam bahasa Bugis Luwu.
Menurut kesepakatan antara Luwu dengan Mekongga bahwa Mincara Ngapa atau Mokole Kondeeha di Lelewawo bertugas mengatur hubungan Luwu -Mekongga. Bukan saja dengan kerajaan Luwu tetapi dengan kerajaan-kerajaan tetangga lainnya, seperti Moronene, Konawe, Wolio dan Muna. Selain itu turut dikembangkan persahabatan dan kerja sama dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.
Persahabatan dengan kerajaan Bone tidak pula disepikan, sehingga di saatkerajaan-kerajaan tetangga terganggu oleh imperialis, Mekongga turut merasakan suka-dukanya, terutama dengan penderitaan masyarakat kerajaan Luwu.
Hal itu terbukti pada saat perlawanan Bone dan Luwu terhadap Belanda di awal abad ke-20, di mana para patriot Mekongga turut melawan Belanda. Menurut Laporamba alias Daeng Mangngati, bahwa pada saat Bone diserang Belanda di tahun 1905 seorang Ksatria Mekongga yang bernama Pombili turut mendampingi Petta Ponggawae mempertahankan Bone Tengah dengan nama gelar Petta Anregurunna Anak Arunge. 2)Ia diberi nama itu berhubung dengan ilmu kekebalan dan mistik lainnya yang diajarkannya di kalangan bangsawan Bone.
Setelah Bone dikalahkan Belanda Pombili sempat meloloskan diri kembali ke Mekongga dan mengadakan persiapan-persiapan melawan Belanda bersama dengan Haji Hasan dan Opu Todjabi dari Luwu. Apa yang dipersiapkan akhirnya menjadi kenyataan.
Pada gerakan perlawanan rakyat Luwu yang dipimpin Haji Hasan dan Opu Todjabi sejak tahun 1906, Mekongga turut menjadi arena pertempuran di mana Pombili beserta rakyat Mekongga bekerja sama Haji Hasan dan Opu Todjabi mengadakan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Wujud perlawanan
Pasukan Haji Hasan,Todjabi dan Pombili jumlahnya kecil saja, sehingga sulit mengadakan perang terbuka melawan Belanda. Wujud perlawanannya adalah perang gerilya dengan taktik menghadang dan menyergap musuh kemudian menghilang ke hutan-hutan petualangan. Pada saat musuh dalam keadaan lengah tiba-tiba muncul dan menyergap.
Gerakan perlawanan terjadi di beberapa tempat, bukan saja di daerah Kolaka(Mekongga), tetapi kadang-kadang muncul dan menyergap di daerah Wajo, kadang-kadang muncul dan menghadang di daerah Luwu. Markas besar Haji Hasan ditempatkan di Lasusua.
Markas itu merupakan suatu basis pertahanan yang dilindungi oleh sebuah barisan gunung batu yang terjal ke laut yang sampai kini terkenal namanya ”Gunung Todjabi” Pombili menetapkan garis pertahanannya dari Mangolo(7 km di sebelah utara Kota Kolaka) ke Sabilambo sampai Laikamborasaa.
Jalannya perlawanan
Di dalam bulan Ramadhan pada tahun 1907, tatkala Haji Hasan beristirahat di Wawo sambil menjalankan ibadah puasa, Belanda memusatkan perhatiannya untuk melumpuhkan dan menangkap Haji Hasan. Belanda memastikan bahwa dalam keadaan berpuasa Haji Hasan akan kurang bersemangat mengadakan aksi perlawanan.
Belanda mengerahkan sekitar 300 orang pasukan dengan cara sangat rahasia untuk mengepung Haji Hasan di kampung Wawo. Belanda tetap yakin bahwa rencana dan siasat penyerangan itu tidak diketahui oleh Haji Hasan.
Oleh sebab itu Belanda berharap, Haji Hasan akan tertawan pada saat itu. Namun,apa yang diduga Belanda ternyata tidaklah demikian. Rencana penyerangan Belanda sempat diketahui oleh salah seorang pengikut Haji Hasan menyebabkan usaha secara rahasia dari orang Belanda menjadi bukan rahasia bagi Haji Hasan.
Segera dicari siasat untuk mematahkan rencana penyerangan terhadap dirinya. Di dekat Wawo disebuah daratan pantai yang berpasir putih di samping sebuah tanjung. Haji Hasan menunggu pasukan Belanda dengan taktik penyergapan secara tiba-tiba.
Pasukannya menempatkan diri pada tempat-tempat terlindung dan siap sergap. Ketika rombongan pasukan Belanda lewat, dengan tiba-tiba Haji Hasan bersama pasukannya keluar dari persembunyiannya sambil melakukan penyergapan terhadap Belanda.
Pasukan Haji Hasan bersenjatakan keris, tombak dan taawu (parang panjang). Karena penyergapan secara mendadak pihak Belanda menjadi panik sehingga tidak memperoleh kesempatan untuk membalas serangan, menyebabkan timbulnya korban jiwa yang cukup banyak dan yang masih hidup lari meninggalkan medan pertempuran.
Belanda merasa malu akibat kerugian yang diderita dari penyergapan Haji Hasan. Diaturlah cara pengepungan yang ketat sehingga Haji Hasan terpaksa hidup berkelana sambil mengatur siasat. Jika terancam di daerah Kolaka ia berpindah ke daerah Luwu demikian pula seterusnya siasat melepaskan diri dari kepungan Belanda, sambil mengatur siasat gerilya.
Beberapa kali Haji Hasan terjebak dalam kepungan Belanda namun masih sempat meloloskan diri. Pada suatu pengepungan Belanda di sekitar kampung Lasusua, pasukan Haji Hasan melancarkan perlawanan di suatu muara sungai. Perlawanan dipimpin oleh Toindera, komandan pos di muara sungai Lasusua. Perlawanan segera dipatahkan oleh Belanda.
Pada saat perlawanan Toindera di muara sungai, Haji Hasan dengan beberapa pengikutnya mengatur siasat penyerangan di Rantelimbung, tetapi secara tiba-tiba terjadilah penyergapan yang dipimpin oleh La Tollong dan dibantu La Kampucu. Keduanya adalah pengikut setia Haji Hasan.
Dalam penyergapan pasukan Haji Hasan di Rantelimbung ini telah pula menimbulkan korban jiwa di pihak Belanda. Belanda mundur dan memperkuat pasukan lalu meneruskan pengejaran terhadap Haji Hasan ke daerah Malili, Masamba sampai ke sekitar Palopo.
Akhirnya Haji Hasan tertangkap pada tanggal 14 April 1914 di kampung Salubongko, 20 km sebelah utara Palopo. Tertangkapnya HajiH asan adalah merupakan hasil siasat Belanda menggunakan dua orang pemberani dari Soppeng yang terdiri dari suku Bugis dan kurang diperhitungkan oleh Haji Hasan sebagai musuhnya.
Haji Hasan tertangkap lalu dipenjarakan di Palopo. la dipukul dan disiksa berkali-kali.la akhirnya meninggal di dalam penjara Palopo karena tidak mau makan makanan yang disediakan yang dianggapnya makanan kafir.
Perlawanan Haji Hasan dilanjutkan oleh Opu Todjabi bekerja sama dengan Pombili. Berkali-kali Todjabi tertangkap dan ditahan tetapi selalu berhasil meloloskan diri dari tahanan. la bermarkas di suatu lokasi yang dilindungi oleh gunung batu dan disebut gunung Todjabi.
Pada saatnya menyergap Belanda selalu berkesudahan dengan kekecewaan di pihak musuh, sebab Opu Todjabi tidak dimakan besi atau pun peluru.
Tetapi lama-kelamaan usaha pengejaran Belanda kian berkurang dan Todjabi menetap saja dalam markas perlindungannya tidak lagi menghiraukan kejadian di luar kediamannya. Yang jelas bahwa Opu Todjabi tidak mau berdamai dengan Belanda apalagi akan mengikuti pemerintahan penjajah Belanda.
Keadaan itu berlangsung terus sampai Belanda meninggalkan Indonesia setelah dikalahkan oleh Jepang pada tahun 1942.
Opu Todjabi diperdayakan oleh semboyan Saudara Tua dari Jepang sehingga mau datang ke Palopo pada tahun 1942. Di Palopo ia ditangkap lalu dipenjarakan.Ia disiksa dengan pukulan yang bertubi-tubi dari Harada algojo Jepang dan pada akhirnya meninggal setelah tidak diberi makan dalam penjaran selama 10 hari di Palopo, dalam tahun 1943.
Teman Opu Todjabi yang dikenal gelarnya Kapita Pombili mengadakan perlawanan-perlawanan sejak masuknya Belanda di Mekongga pada tahun 1906. Perlawanan yang bersenjatakan taawu atau parang panjang baik dalam pasukan Haji Hasan maupun Opu Todjabi adalah merupakan pasukan Kapita Pombili.
Daerah pengawasannya memanjang dari Mangolo (7 km) sebelah utara Kolaka sampai Laikamborasaa (29 km) sebelah timur Kolaka. la mendukung Bokeo Bula (I Bio) Raja Mekongga menolak bekerja sama dengan Belanda.
la selalu membantu Haji Hasan dan Opu Todjabi melawan Belanda,ia sudah banyak pengalaman berhadapan dengan Belanda, antara lain mendampingi Petta Ponggawae pertahankan wilayah Bone Tengah pada tahun 1905.
Pombili memiliki ilmu-ilmu mistik kejantanan, tidak mempan dimakan besi dan tidak dimakan peluru jadi kebal terhadap besi dan peluru. Pada tahun 1911 terjadilah perlawanan Pombili terhadap Belanda bertempat di Mangolo yaitu suatu tempat yang terletak 7 km sebelah utara Kolaka sekarang.
Pasukannya terdiri dari orang-orang Tolaki Mekongga yang bersenjatakan taawu (parang panjang), tombak dan beberapa laras senjata api kuno. Bersama-sama dengan Opu Todjabi yang bersenjatakan keris mereka menahan pasukan Marsose Belanda. Pombili memilih pertahanan sekitar sungai Mangolo di dekat sebuah tebing batu. Karena persenjataan yang tidak seimbang pada akhirnya anggota pasukan Pombili terpaksa mengundurkan diri setelah berhasil membunuh beberapa orang tentara Belanda.
Opu Todjabi mengundurkan diri ke Lasusua dan Pombili mundur lalu mengatur perllawanan di Puuwonggia yaitu suatu situs yang jaraknya 11 km sebelah timur dari kota Kolaka sekarang.
Walaupun Pombili memberikan perlawanan yang sengit namun pada akhirnya Belanda dapat memenangkan pertarungan. Pombili mengundurkan diri ke pedalaman yang kemudian melakukan petualangan ke daerah Konawe. Di daerah Konawe ia berusaha membantu para bangsawan Konawe yang bersiap-siap mempertahankan wilayahnya agar tidak dikuasai oleh penjajah Belanda yang telah memasuki Kendari sejak tahun 1906.
Akibat Perlawanan
Perlawanan-perlawanan yang dilancarkan oleh Haji Hasan, Opu Todjabi dan Pombili sangat menyakiti hati Belanda, sehingga menyebabkan timbulnya tindakan balas dendam yang berat dipikul. Perlawanan pasukan Haji Hasan di Wawo menyebabkan Belanda menahan Opu Patunru, Andi Baso Lampulle (Anggota Hadat Luwu) dan menangkapi serta membunuh siapa saja yang dicurigai.
Dengan sergapan Haji Hasan di Lasusua, Belanda mundur lalu menangkap rakyat yang tidak bersalah, Tomadina bersama keluarganya.
Dengan berakhirnya perlawanan-perlawanan rakyat di daerah Mekongga dan pendudukan penjajah Belanda berlangsung maka Mekongga yang tadinya merupakan kerajaan merdeka dijadikan daerah jajahan Belanda yang digabung dengan Luwu.
Daerah Mekongga dijadikan Onderafdeeling Kolaka sebagai salah satu Onderafdeeling dalam wilayah Afdeeling Luwu dan diperintah oleh seorang Gezaghobber dengan ibukota Kolaka.
Lanjut Part II : Perlawanan Di Kolaka Terhadap Netherlands India Civield Administration (NICA) Part II
Sumber Dilansir dari :
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara
Chalik K Husein DKK 1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983/1984
Bab V
Perlawanan Di Daerah Kolaka Terhadap Pemerintah Hindia Belanda.