Sejarah Kerajaan Laiwoi di Sulawesi Tenggara Sehingga Menjadi Kota Kendari

Oplus_0

Kerajaan Laiwoi adalah kerajaan yang berdiri di Sulawesi Tenggara pada abad ke-19, dengan ibu kota di Kota Kendari. Kerajaan ini merupakan hasil dari perjanjian antara pemerintah Belanda dan bangsawan Laiwoi, Lamangu, untuk mengganti Kerajaan Konawe. 

Dikutip dari jurnal Budaya dan Sejarah Tahun 2017 oleh Bachtiar dari Balai Pelestarian Nilai Budaya  Sulawesi Selatan mengenai Budaya Politik di Kerajaan Laiwoi di Sulawesi Tenggara.

Dari Journal tersebut metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan melalui beberapa tahapan, yaitu heuristik, kritik sejarah, interpretasi, dan historiografi.

Hasil kajian menunjukkan bahwa Kerajaan Laiwoi pada awal pembentukannya sarat politik karena sistem politik Belanda yang ingin mengadu domba para bangsawan yang ada di Kerajaan Konawe dan beberapa kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara.

Dengan siasat politiknya, Belanda memanfaatkan salah seorang bangsawan bernama Lamangu untuk ditawarkan menjadi raja, maka dibentuklah Laiwoi sebagai sebuah kerajaan.

Kerajaan Laiwoi yang muncul pada pertengahan abad ke 19, namun sudah pernah disebut-sebut telah ada pada abad-abad sebelumnya. Pada saat terbentuk, budaya politik di kerajaan ini, berawal ketika raja (dalam bahasa setempat disebut mokole) Konawe meninggal yaitu Raja Lakidende. 

Sejak itu dewan Kerajaan Konawe tidak berhasil mengangkat seorang Mokole. Lalu setiap wilayah Kerajaan Konawe mengutus calonnya masing-masing. Namun pada hal penting yang berkaitan dengan adat istiadat masih terasa kesatuan kerajaan bekas Konawe di bawah kepemimpinan dari Sulemandara (semacam perdana menteri) Ranomaeto. 

Setelah beberapa lama Tebawu menjabat sebagai Sapati Ranomaeto, maka atas persetujuan dari Sulemandara ia ditetapkan sebagai mokole Ranomaeto. Dengan diangkatnya Tebawu sebagai  mokole. Maka Ranomaeto merupakan salah satu wilayah dari Kerajaan Konawe dengan kepala pemerintahannya yang disebut sapati berubah menjadi mokole (ligvoet, 1878:15).

Untuk mengawasi wilayah Kendari, Pemerintah Belanda mengangkat Vosmaer sebagai pegawai yang sangat berjasa. Ia diangkat sebagai asisten residen dengan SK No. 16 Tanggal 12 Januari 1835 yang berpangkalan di Teluk Kendari dalam rangka pengamanan atas gangguan bajak laut Tobelo . 

Vosmaer menjelaskan ia sering berlayar dengan perahu melintasi Sungai Wanggu menuju ke Lepo-Lepo menemui Mokole Tebawu. Ada dinamika politik mewarnai pada saat lahirnya Kerajaan Laiwoi, karena awal pembentukan kerajaan dilakukan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi.

Setelah Tebawu wafat, secara diam-diam dan sangat dirahasiakan, pada1858 putranya yang bernama Lamangu mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda. Ia ingin mendirikan satu kerajaan yang lepas dari Kerajaan Konawe dengan nama Kerajaan Laiwoi.

Perjanjian ditanda tangani oleh Lamangu dan dari pihak Belanda ditandatangani oleh A.A.Vries atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Ligvoet, 1878:15). Mencermati hal tersebut nampak bahwa strategi politik dilakukan antara Lamangu dan Pemerintah Belanda, dengan demikian terjadi interaksi individu dengan sistem politiknya. 

Kerajaan Laiwoi yang meliputi daerah Ranomaeto, dirahasiakan terhadap para bangsawan  Konawe. Berdirinya Kerajaan Laiwoi yang menjadi mokole adalah Lamangu pada waktu itu baru merupakan kerajaan. Kerajaan Laiwoi berdiri dengan bantuan kekuatan kolonial Belanda. Sedang Belanda pada waktu itu tidak mampu memberikan bantuan pasukan untuk mewujudkan kerajaan ini. 

Kerajaan Laiwoi belum dapat berbuat apa-apa, berhubung kekuatan Belanda dikerahkan pada seluruh wilayah Nusantara. Perjanjian Lamangu dengan pihak Belanda pada 1858 yang bertujuan untuk mendirikan Kerajaan Laiwoi, berlangsung secara rahasia diatas kapal di luar perairan Konawe. 

Lamangu sebagai raja yang disahkan oleh Belanda untuk Kerajaan Laiwoi yang belum mempunyai wilayah kekuasaan, meyakinkan pihak Belanda bahwa untuk dapat mewujudkan Kerajaan Laiwoi bersama Belanda, harus terlebih dahulu menghancurkan Kerajaan Konawe dengan kekuatan senjata (Chalik, dkk, 1984:40).

Di sisi lain bangsawan Konawe serta seluruh rakyatnya segera bersatu, setiap usaha yang datangnya dari luar harus diperhitungkan secara matang. Setiap serangan musuh dari luar selalu dihancurkan, apalagi kalau ada usaha pihak yang memecah belah keutuhan Kerajaan Konawe.

Namun pihak Belanda telah memberikan jaminan akan membantu penuh kepada Lamangu, asalkan bersabar dan merahasiakan hasil perjanjian pada 1858 kepada para penguasa kerajaan dan rakyat Konawe. 

Pihak Belanda tidak mungkin segeram mewujudkan Kerajaan Laiwoi sebelum kerajaan Gowa, Bone, Luwu, dan Buton ditaklukkan. Belanda tentu tidak mampu menaklukkan sekaligus kerajaan-kerajaan tersebut. 

Dengan demikian Lamangu kembali ke Ranomaeto berdiam diri sambil merahasiakan apa yang telah dibuatnya dengan pihak Belanda. Lamangu sangat khawatir apabila tindakannya dapat diketahui oleh rakyat dan para bangsawan di Konawe, berhubung rakyat Konawe sesungguhnya sangat menentang kehadiran Belanda (Chalik, dkk,1984:41).

Sebagai konsekuensi politik, pemerintah Belanda sejauh mungkin mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan para raja dengan mengadakan perjanjian-perjanjian politik, dimana ada dua jenis perjanjian-perjanjian politik, yaitu: perjanjian panjang (lange verklaring), dan perjanjian pendek (korte verklaring). 

Kerajaan Laiwoi juga mengadakan perjanjian dengan pemerintah Hindia Belanda.Setelah usai Perang Bone pihak Belanda mulai mengalihkan perhatiannya ke jazirah tenggara Pulau Sulawesi. 

Pihak Belanda kembali memeriksa dokumen rahasia berupa perjanjian rahasia. Didapatinya adanya perjanjian tahun  1858 tentang terbentuknya Kerajaan Laiwoi dengan persetujuan  pihak Belanda. Bahwa Lamangu diangkat pihak Belanda menjadi Raja Laiwoi. 

Perjanjian ini  merupakan siasat jahat dan busuk Belanda dalam usaha mengadu domba dan memecah belah kemudian menguasai daerah ini (politik devide et impera).

Kerajaan Laiwoi memang tidak berakar dalam masyarakat dan tidak dihayati oleh rakyat Konawe, untuk mendapatkan data-data pihak Belanda mengirim intelijen guna menghubungi dan mengetahui usaha Lamangu. 

Pihak Belanda merasa kecewa karena selama ini Lamangu tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh rakyat Konawe yang terdiri dari Una, Latoma, Abuki, Asaki, Ranomaeto, Sambara, Pondidaha, dan Uepay tidak mengenal dan mengetahui tentang Kerajaan Laiwoi. 

Hal itu merupakan suatu masalah sulit yang dihadapi Belanda. Kekuatan Konawe dengan alat-alat persenjataan yang diperoleh dari Portugis sebagai hasil perdagangan cukup banyak, oleh karena itu pihak Belanda mengubah siasatnya (Chalik, dkk, 1984:45). 

Pemerintah Belanda masih melanjutkan keinginannya mewujudkan berdirinya  Kerajaan Laiwoi, strategi Belanda mulai mendekati beberapa bangsawan di Ranomaeto dan Sambara. Mereka didekati dan dibujuk untuk mendukung rencana Belanda. 

Pada 1865 Lamangu mangkat, digantikan oleh putranya Sao-Sao menjadi mokole Laiwoi. Namun karena belum dewasa (dianggap masih anak-anak) belum dapat membuat perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda. 

Raja Sao-Sao baru dilantik pada 15 Mei 1880, pada saat itu raja Sao-Sao juga menandatangani perjanjian (verbond van bevestiging) dengan Belanda. Selanjutnya Sao-Sao kembali menandatangani Perjanjian Panjang. Pada 21 Desember 1885. Sao-Sao selaku Raja Laiwoi yang merupakan kerajaan pantai, berusaha mempersatukan kembali wilayah-wilayah bekas Kerajaan Konawe. 

Ia mengutus H. Abdul Gani (Haji Taata) untuk menemui Sulemandara Saranani di Pondidaha dan beberapa penguasa wilayah lain dibekas Kerajaan Konawe. Usaha ini mendapat tentangan dengan berbagai alasan. Kerajaan Laiwoi dianggap sebagai kerajaan yang dibangun orang asing, bersamaan dengan itu masuk pula pengaruh Belanda di wilayah ini (Had, dkk, 2007:38).

Penentang utama adalah utusan bangsawan dari Abuki yang bernama Lapobende, ia mendapat dukungan dari para utusan untuk mencalonkan Watukila menduduki tahta kerajaan sesuai pewarisan Kerajaan Konawe(silsilah). Suasana pertemuan tambah tegang, namun pihak Belanda harus mempertahankan dukungannya pada Sao-Sao. Watukila membisu dalam pertemuan, karena ia tahu bahwa ia tidak disenangi oleh Belanda. Pertemuan dilanjutkan pada malam harinya, namun terjadi kericuhan karena Lapobende diracun oleh Belanda (Chalik,dkk, 1984:57-58).

Sudah ditetapkan sebagai raja Laiwoi, Sao-Sao membuat perjanjian kedua mewakili Hadat Kerajaan Laiwoi dengan Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Residen Bensbach pada 21 Desember 1858. Perjanjian dilaksanakan di atas kapal Belanda bernama Borneo yang sedang berlabuh di luar Teluk Kendari. Perjanjian kedua yang ditandatangani Raja Sao-Sao ini terdiri dari 18 pasal, salah satunya adalah Hadat Kerajaan Laiwoi mengaku secara sah Pemerintah Hindia Belanda dan Laiwoi masuk dalam daerah Hindia Belanda.               

Setelah penandatanganan kontrak panjang oleh Sao-Sao, maka campur tangan langsung pemerintah Hindia Belanda dalam pemerintahan Kerajaan Laiwoi mulai dirasakan. Kendari dijadikan sebagai pusat pemerintahan Belanda. Sejak itu ditempatkan kesatuan militer Belanda untuk kepentingan keamanan. Prasarana seperti bangunan dipersiapkan dengan mendirikan tangsi tentara Belanda di atas bukit dekat bangunan loji dan istana raja. 

Sesudah fasilitas militer terpenuhi, menyusul pembangunan sarana dan fasilitas lain. Pada tahun-tahun berikutnya, kota pantai ini mulai memperlihatkan sebuah ciri kekotaan. Secara resmi pusat pemerintahan Kerajaan Laiwoidi Lepo-Lepo dipindahkan ke teluk  Kendari.

Kepindahan ibu kota pusat pemerintahan ini mendorong makin dikembangkannya fasilitas pelabuhan Kendari. Ini menunjukkan Kendari tidak hanya sebagai kota pemerintahan, tetapi berkembang pula perannya sebagai kota pelabuhan dan kota perdagangan. 

Mulai ditempatkan pejabat-pejabat sipil dan militer Belanda secara permanen, selanjutnya daerah- daerah bawahan diatur kembali dan diubah menjadi distrik yang tidak dikenal dalam pemerintahan kerajaan sebelumnya. 

Pejabat-pejabat kerajaan mulai menjadi pegawai pemerintah (Belanda) dan diberikan gaji,dan beberapa jabatan yang mengurus pertahanan kemanan dan perekonomian. Pajak dan sistem rodi sebagai kewajiban untuk bekerja beberapa hari lamanya demi kebutuhan pemerintahan Belanda seperti pembuatan jalan dan jembatan.

Tindakan Belanda ini berakibat hilangnya kedudukan dan aspirasi masyarakat tradisional. Beberapa bangsawan daerah bawahan yang wilayahnya dirombak ke dalam distrik kehilangan kedudukannya hingga warisan kebesaran tradisional masa lalu berangsur- angsur hilang. Bahkan bangsawan tidak terlepas dari membayar pajak sama dengan rakyat biasa. Kalau sebelumnya mereka tidak pernah mengenal pajak dan bekerja, saat itu harus membayar pajak dan dikenakan wajib pajak. (Had, 2007:51-52)

Usaha Haji Taata menyelenggarakan perundingan Molowe pada1909, bertempat di Bandar Molowe. Utusan Konawe terdiri atas Abuki, Asaki, Latoma, Pondidaha, Kasipute, Uepay beserta laskar pengawal pihak Belanda disertai pasukan pengawal satu kompi yang ditempatkan di atas kapal perang Belanda dan didampingi oleh Sao-Sao dan Haji Taata.

Watukila pun tidak mengetahui benar apa yang tercantum dalam Tractat van Molowe itu. Tetapi yang jelas bahwa pendirian Watukila tetap tidak menerima kedatangan Belanda dan menolak kerja sama dengan Belanda.

Sekembali dari Molowe, Watukila dengan cepat meningkatkan pertahanannya, dengan memanggil Lamboasa dan Langgolo untuk memimpin laskar tempur Konawe. Markas besar ditetapkan di Sanuaggaambo, tempat kediaman Watukila. Kubu pertahanan yang kuat ditempatkan di Puudombi, gudang senjata/peralatan perang ditempatkan di Puwilalo (Chalik, dkk. 1984:44-45).

Setelah Perundingan Molawe pada 1909, terjadi siasat buruk Belanda mengadu domba para bangsawan untuk tujuan menguasai dan menjajah rakyat Konawe. Untunglah rakyat Konawe sudah mengetahui maksud Belanda yang sebenarnya yaitu akan menjajah Konawe.

Rakyat dari seluruh kawasan Konawe lalu menjadi waspada dan mengkonsolidasi diri sambil siap siaga menanti komando. Dalam keadaan itu pada akhirnya diketahui, bahwa Belanda dengan disepakati oleh Sao-Sao, Kerajaan Laiwoi bagian dari kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. 

Timbullah ketegangan-ketegangan antara pihak Konawe dengan Belanda, di mana-mana rakyat siap menyerang Belanda. Bilamana mereka berani menginjakkan kakinya di wilayah Kerajaan Konawe. Pihak Belanda tidak diam. Belanda mengetahui bahwa rakyat di seluruh Konawe sudah bersatu di bawah pimpinan Ponggawa Una Watukila. Belanda juga mengetahui pertahanan Watukila yang keadaanya amat tangguh dan tidak mudah dikalahkan.

Setelah beberapa kali Belanda mengirim utusan ketemu Watukila untuk perundingan namun  tidak ketemu titik terang. Rakyat Konawe menolak keras kehadiran Belanda. Belanda mengatur siasat untuk menyerang Konawe. Oleh itu tercetuslah pertempuran di Bentang Puundombi pada tahun 1908. Pada pertempuran tersebut  Belanda telah mengalahkan Watukila dan rakyatnya. 

Belanda berusaha memantapkan kekuasaan raja Laiwoi atas seluruh jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Ini sebagai politik untuk menanamkan kekuasaannya di wilayah itu. Melalui raja Laiwoi. Belanda berusaha mengatur strategi pemerintahannya di Sulawesi Tenggara. Di tiap-tiap kerajaan ditempatkan pejabat militer Belanda. 

Sebagai akibat perlawanan yang dilancarkan oleh Konawe terhadap Belanda, Watukila dan kawan-kawan menanggung derita dipenjarakan di Jawa, Makassar, dan Sawahlunto. Di samping itu Belandapun semakin kokoh kedudukannya, kemudian Laiwoi dibentuk Belanda sebagai pengganti Kerajaan Konawe menandatangani  korke verlaring, yang berarti tunduk kepada kekuasaan Belanda. Sebagai konsekuensi, semakin sulit kemungkinan bagi rakyat untuk melancarkan serangan-serangan terhadap kolonialisme Belanda (Chalik, dkk, 1984:60).

Perjanjian ini dilakukan atas permintaannya sendiri, yang menganggap perjanjian yang sudah ada terlalu panjang atau tidak dapat dipahami karena terlalu rumit. Oleh karena itu maka perjanjian singkat ini dibuat untuk lebih memudahkan pemahaman dari kedua belah pihak, terutama dari pihak Sao-Sao.

Saat Sao-Sao meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Tekaka. Ia dinobatkan/dilantik di Unaha secara resmi dengan upacara kebesaran adat. Sejak Sao-Sao menjadi raja, ia tidak pernah secara resmi dilantik dengan upacara adat. Demikian pula dengan Tekaka yang menggantikan ayahnya. Setelah dua tahun Watukila wafat (1935), barulah Tekaka dengan resmi dilantik pada 1937 di Unaha dalam upacara adat Tolaki (Chalik, dkk, 1984: 60).

Tahun 1950 Kerajaan Laiwoi dengan rajanya Tekaka diubah menjadi Swapraja Laiwoi.  Tekaka meninggal pada 1955. Akhirnya Laiwoi menjadi Kabupaten Kendari dengan Kepala Daerah  yang pertama Abdullah Silondae berdasarkan UU No. 28/1959, sejak tanggal 2 Maret 1960.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, Laiwoi adalah suatu daerah atau negeri yang mempunyai sejarah. Ia mempunyai sejarah karena manusia di atasnya yang mendiami, telah melibatkan diri dalam kehidupan daerahnya, sehingga ia sampai pada wajahnya sekarang ini. 

Dalam lintasan kehidupan warga yang menjadi penghuninya, terjelma aneka macam peristiwa-peristiwa yang dijadikan tonggak-tonggak ingatan bagi kehidupan berkelanjutan dari suatu peradaban. Menariknya, Kerajaan Laiwoi sebagai salah satu wilayah yang dalam perkembangannya menjadi cikal bakal terbentuknya daerah Tingkat II berubah menjadi Kendari (ANRI, 1973:191)

Masa kepemimpinan Raja Laiwoi memimpin itu terakhir dipimpin oleh Raja Tekaka yang hidup di 3 Masa, yakni di Periode Kolonial Belanda, Periode pendudukan Jepang, Periode Negara Indonesia Timur (NIT) dan Periode Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan wafat di tahun 1955.

Berdasarkan data dan fakta sejarah dari berbagai sumber, di masa Kerajaan Laiwoi inilah, menjadi titik awal berdirinya Kota Kendari sebagai Kota Pelabuhan dan menjadi Ibukota Onder Afdeling Laiwoi atau Swapraja di zaman Kolonial, ditandai dengan kedatangan Jacques Nicholas Vosmaer di Teluk Kendari pada abad 18 sekira tahun 1828 untuk melakukan observasi jalur perdagangan di pesisir timur Sulawesi dan pada Tahun 1831, Vosmaer kemudian menulis dan membuat peta pertama tentang Kendari.

Dan pada tanggal 9 Mei 1831, Vosmer seorang kebangsaan Belanda membangunkan Istana raja bagi Raja Tebau di Sekitar Teluk Kendari dan momentum ini akhirnya menjadi tanggal untuk memperingati Hari Jadi Kota Kendari saat ini.

Selanjutnya Kota Kendari pasca Kemerdekaan juga berapa kali mengalami kemajuan dan tumbuh berkembang mulai dari sebagai Ibukota Kecamatan hingga menjadi Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II berdasarkan Undang-undang No.29 Tahun 1959.

Dan pada tahun 1964, Kota Kendari menjadi Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 1964 Jo Undang-Undang No. 13 Tahun 1964.

Dan pada tahun 1978 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1978, Kota Kendari ditetapkan menjadi Kota Administratif (Kotif) dan selanjutnya pada Tahun 1995 dengan dikeluarkannya Undang-undang No.6 Tahun 1995 Kota Kendari ditetapkan sebagai Kota Madya.

 

Artikel ini disusun dilansir dari berbagai Sumber 

1. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi Tenggara

Burhanuddin, B. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.

2. Sejarah Perlawanan  Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara

Chalik K Husein DKK 1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional , Proyek Inventarasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983/1984 

3. Wikipedia ,  Laiwoi 

4. Jurnal Sejarah dan Budaya dengan Judul Budaya Politik Kerajaan Laiwoi

Bachtiar, 2017, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan. 

5. Sejarah Kota Kendari

Hafid, Anwar dan Misran Safar.2007. Sejarah Kota Kendari. Bandung: Humaniora. 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *