Berdasarkan hikayat orang Muna dahulu kala di Pulau Muna ini semuanya digenangi air. Pada suatu hari berlayarlah sebuah perahu dan perahu tersebut terbentur pada batu karang di bawah permukaan air dan lalu terdampar.
Karena terbenturnya perahu tersebut pada batu karang di bawah permukaan air itu maka dengan tiba-tiba muncul daratan besar dari permukaan laut yaitu Pulau Muna pada saat ini. Perlu dicatat bahwa bukit tempat terdamparnya perahu tersebut disebut Bahutara.
Hikayat atau cerita rakyat tentang munculnya Pulau Muna ternyata sejalan dengan penelitian geologi dewasa ini dimana penelitian tersebut menyatakan bahwa Pulau Muna berasal dari batu karang di mana air surut dan membentuk daratan Pulau Muna saat ini.
Di Kabupaten Muna juga ditemukan jejak lukisan prasejarah. Lukisan-lukisan presejarah tersebut di temukan di Desa Liangkabori, Desa Kondongia, dan Tanjung Laiworu Desa Kotano Wuna.
Berdasarkan lukisan cap tangan di gua Metanduno menggambarkan bahwa Pulau Muna telah dihuni oleh manusia sejak 63 ribu tahun yang lalu dan meupakan lukisan tertua di dunia. Suku Muna merupakan salah satu suku tertua di nusantara.
Sebelum terbentuk Kerajaan Muna, telah ada penduduk yang mendiami beberapa kampung diantaranya Masibi, Tida, Moghanehi, Batuawo, Kadhariha, Lakapura, Wite Monggela, Kote, Mone, Komoneno, Labuli dan lainnya.
Raja Muna La Eli juga sering disebut Bheteno Ne Tombula nama lainnya adalah Baiduzzaman, beliau merupakan Raja Muna pertama.Tidak ada informasi yang pasti dari mana beliau berasal, ada versi menyebut dari luwu,ada versi dari Arab Melayu dan ada versi dari Jawa.
Wa Tandiabe (We Tenri Abeng) juga disebut Sangke Palangga adalah istri dari La Eli. Wa Tandi abe berasal dari Luwu Sulawesi Selatan, adalah putri dari Raja Luwu Batara Lattu yang juga merupakan saudara kembar dari Sawerigading.
La Eli dan Wa Tandiabe memiliki 3 orang anak yaitu, Sugi Patola, Runtu Wulou dan Wa Kilambibito. Sugi Patola akhirnya menjadi Raja Muna yang ke-2, Runtu Wulou Kembali ke Luwu dan Wa Kilambibito menikah dengan La Singkaghabu anak dari Mieno Wamelai La Bhalano.
La Singkaghabu akhirnya menjadi Kamokulano Tongkuno yang pertama. Catatan di Kedaulatan Luwu, Putra We Tenri Abeng bernama Simpurusiang kembali ke Luwu dan akhirnya menjadi Raja Luwu pada tahun 1268.
Catatan di Kerajaan Muna, putra Wa Tandiabe kembali ke Luwu dan menjadi Raja Luwu. Kesamaan tutur lisan di Luwu dengan Muna tentang putra Wa Tandiabe ini memunculkan asumsi bahwa Simpurusiang adalah Runtu Wulou.
Jika Simpurusiang menjadi Raja Luwu pada tahun 1268 maka bisa diperkirakan bahwa Wa Tandiabe tiba di Muna tahun 1210 maka Kerajaan Muna berdiri pada Tahun 1210.
Bheteno Ne Tombula dan Wa Tandiabe dipertemukan dan selanjutnya menetap di Wamelai yang merupakan tempat tinggal Mieno Wamelai La Bhalano. Kediaman Mieno Wamelai La Bhalano disebut Lambu Bhalano. Mieno Wamelai La Bhalano adalah pemimpin di Pulau Muna saat itu sebelum tibanya Bheteno Ne Tombula.
Setelah beberapa waktu lamanya penduduk Wamelai semakin bertambah, sehingga di sekitar kampung sudah tidak ada lagi daerah ladang yang kosong maka dibukalah sebuah daerah ladang yang baru yang agak masuk ke darat.
Letaknya di pertengahan lereng antara laut dan puncak bukit Bahutara. Pada awal rakyat menetap di Wamelai, tetapi ketika daerah ladang baru ini semakin meluas serta jarak ke Wamelai semakin bertambah jauh, menetaplah mereka di ladang-ladang itu, sehingga terjadilah perkampungan baru.
Raja Muna ke-2 adalah Sugi Patola dengan Kamokulano Tongkuno La Singkaghabu. Di era ini dibentuk 4 kampung yaitu Tongkuno pemimpinnya bergelar Kamokulano Tongkuno, Barangka pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka, Wapepi pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi dan Lindo pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo.
Pemekaran kampung selanjutnya dilakukan di masa Sugi Laende Raja Muna ke-5 yang terdiri atas Kainsitala pemimpinnya bergelar Mieno Kainsitala, Kaura pemimpinnya bergelar Mieno Kaura,Lembo pemimpinnya bergelar Mieno Lembo, Ndoke pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke.
Tahun 1400 akhir, Raja Muna ke-6 Sugi Manuru menetapkan Undang -Undang Ketatanegaraan Islam di Kerajaan Muna dan diberi gelar Omputo Mepasokino Adhati.
Di masa Raja Muna ke-7 Omputo La Kilaponto dibentuk lagi 28 kampung dengan pemimpin masing-masing kampung adalah Kino /Ki.
Raja Muna Omputo La Kilaponto sangat dikenal dan berpengaruh pada Kerajaan sekitar. Di Kerajaan Konawe dikenal dengan nama Haluoleo, Di Kerajaan Moronene dikenal dengan nama La Ndolaki dan Di Kesultanan Buton dikenal dengan nama Murhum.
Setelah beberapa tahun menjadi Raja Muna ke-7, La Kilaponto juga dinobatkan menjadi Raja Buton ke-6. Beberapa tahun La Kilaponto Raja Buton itulah, posisinya sebagai Raja Muna digantikan oleh saudaranya sendiri yaitu La Posasu.
Dalam perkembangan selanjutnya, La Kilaponto mendirikan Kesultanan Buton sekaligus menjadi Sultan Buton pertama dengan gelar Sultan Murhum. Pada masa itulah terjadi Perjanjian Kapeo-Kapeo antara Raja Muna La Posasu dan Sultan Buton La Kilaponto yang dikenal dengan Perjanjian Persaudaraan dengan kesepakatan bersama yaitu saling memperhatikan jika satu sama lain mengalami kesulitan dan saling melindungi satu sama lain terutama dalam kaitannya dengan pertahanan keamanan.
Dengan semangat persaudaraan yang saling melindungi maka lima Kerajaan yaitu Kerajaan Muna, Kesultanan Buton, Kerajaan Tiworo, Kerajaan Kulisusu dan Kerajaan Kaledupa membangun persekutuan yaitu konsep pertahanan bersama dengan membentuk pakta pertahanan bersama yang disebut dengan sistem pertahanan Bharata.
Bharata dalam Bahasa Muna adalah Bhorota berkaitan dengan cadik, menggunakan filosofi cadik yaitu saling melindungi atau saling menyanggah. Di zaman Raja Muna La Posasu inilah ,terbentuk kerjasama pertahanan keamanan yang terdiri atas:
- Kesultanan Buton bertugas melindungi empat Kerajaan lainnya.
- Kerajaan Muna bertugas melindungi empat Kerajaan lainnya.
- Kerajaan Tiworo bertugas melindungi empat Kerajaan lainnya.
- Kerajaan Kulisusu bertugas melindungi empat Kerajaan lainnya.
- Kerajaan Kaledupa bertugas melindungi empat Kerajaan lainnya.
Di masa Raja Muna Omputo La Posasu, kampung Laghontoghe, Wasolangka dan Lohia dibentuk sebagai Bharata internal atau pertahanan pesisir internal Kerajaan Muna. Masing-masing kampung tersebut juga ditopang beberapa kampung yang dipimpin oleh Kino /Ki yaitu:
- Kino Laghontoghe ditopang beberapa kampung yaitu Lianosa dan Wakowanenta
- Kino Wasolangka ditopang beberapa kampung yaitu Marobo, Matombura, Matanapa, Labuan Diri, Mangkarei, Wabalomo, Wadolao dan Waburanse.
- Kino Lohia ditopang beberapa kampung yaitu Duruka, Banggai, Masalili, Mabolu, Mabodo, Watopute, Bangkali, Ghonsume dan Kondongia.
Kemudian beberapa kampung dibentuk sebagai Bobato (sayap militer) yang terdiri atas Labora di Ghoera Tongkuno dipimpin oleh Kino Lakologou, di Ghoera Tongkuno dipimpin oleh Kino Lagadi, di Ghoera Lawa dipimpin oleh Kino Watumelaa, di Ghoera Lawa dipimpin oleh Kino Lasehao, di Ghoera Kabawo dipimpin oleh Kino Kasaka, di Ghoera Kabawo dipimpin oleh Kino Tobea, di Ghoera Katobu dipimpin oleh Kino dan Mantobua di Ghoera Katobu dipimpin oleh Kino Selanjutnya di masa Raja Muna Omputo Titakono dibentuk Ghoera (Propinsi) yang dipimpin oleh Koghoerano /Mieno.
Masing -masing Ghoera dibentuk beberapa kampung yang dipimpin oleh Mieno yaitu:
- DiGhoera Tongkuno yaitu Tondo, Matagholeo, Kadolo, Kowouno dan Pentiro.
- Di Ghoera Lawa yaitu Kaliwu-Liwu, Kabawomela, Kampani, Wou, Lambu bhalano, dan Malainea.
- Di Ghoera Kabawo yaitu Karoo, Kafofo, Lahorio, Kabangka dan Lensino
- Di Ghoera Katobu yaitu Labaluba, Lafinde dan Wakalalawea.
Dalam perjalanan selanjutnya terjadi pemekaran kampung-kampung sampai akhirnya masuklah pemerintah Hindia Belanda tahun 1908 dan Kerajaan Muna berakhir dengan status Swapraja Muna dengan Raja terakhir La Ode Pandu. Adapun daftar Raja Muna adalah:
- La Eli gelar Bheteno Ne Tombula
- Sugi Patola
- Sugi Ambona
- Sugi Patani
- Sugi Laende
- Sugi Manuru /Omputo Mepasokino Adhati
- Omputo La Kilaponto /La Tolalaki /Haluoleo/Murhum/Landolaki
- Omputo La Posasu /Sultan Kobhangkuduno
- Omputo Rempoisomba /Sultan Fahrisi
- Omputo Titakono /Sultan Idrus
- Omputo La Ode Sa’aduddin
- Omputo La Ode Ngkadiri/Sangia Kaendea
- Omputo La Ode Abdul Rahman/Sangia Latugho
- Omputo La Ode Husein/Omputo Sangia
- Omputo La Ode Kentukoda/La Ode Haerum Baradhai
- Omputo La Ode Umara
- Omputo La Ode Harisi
- Omputo La Ode Murusali/Sangia Gola
- Omputo La Ode Ismail
- Omputo La Ode Saete /Sorano Masigi
- Omputo La Ode Bulae/Sangia Laghada
- Omputo La Ode Kaili
- Omputo La Ode Ahmad Maktubu/Milano We Kaleleha
- Omputo La Ode Safiu /Milano Te Waara
- Omputo La Ode Rere /Aro Wuna
- Omputo La Ode Dika/Komasigino
- Omputo La Ode Pandu /Milano Te Kosundano
Sumber informasi :
Majelis Adat Kerajaan Nusantara Sulawesi Tenggara