Kerajaan Moronene terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara Kabupaten Bombana, kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-9. Pertengahan abad ke-17, kerajaan Bombana di pecah menjadi tiga kerajaan, yakni :
- Kerajaan Kabaena
- Kerajaan Rumbia
- Kerajaan Poleang
Kerajaan Bombana
Sejarah Kerajaan Bombana Dalam sejarah suku Moronene, dikenal seseorang bernama Dendeangi yaitu adik kandung Raja Luwu yaitu Sawerigading. Oleh kakaknya Sawerigading, Dendeangi, pada abad ke-9, diminta pergi ke bagian paling selatan di Jazirah Tenggara untuk menandai wilayah kekuasaanya.
Wilayah yang ditunjuk Sawerigading dikenal saat sekarang sebagai bentengan daratan yang memanjang dari bagian pesisir teluk Bone (Kolaka, sekarang), lalu menyisir berputar sampai ke bagian yang dikenali sebgai Pesisir Timur (Konawe Selatan, sekarang).
Sawerigading meminta Dendeangi agar mendirikan pemerintahan di sepanjang wilayah yang disebutnya. Memintanya pula untuk menunjuk beberapa orang yang kemudian harus dipersiapkan untuk menunggu kedatangannya.
Ketika Dendeangi masuk wilayah Moronene (Bombana) yaitu sekitar abad ke-9 Penanggalan Masehi saat itulah Dendeangi menadai wilayahnya dengan pijakan kakiknya di atas batu.
Dendeangi menghentak kakinya ke batu, yang kemudian lalu pecah. Lelaki itu menujuk orang-orang disekitarnya (tanpa bicara), dengan maksud merekalah yang menyaksikan kejadian itu dan seharusnya nanti tahu itu sebagai bentuk menandai wilayah kekuasaannya. Batu tersebut sekarang disebut Batu Lateng’u (pecah seperti melengkung; cekung; lesak ke dalam).
Setelah Dendeangi menyiapkan semua hal seperti yang diperintahkan kakaknya (Sawerigading), maka datanglah Sawerigading ke wilayah tersebut. Dendeangi kemudian dilantik menjadi Mokole (raja) pertama untuk wilayah Kerajaan Bombana.
Atas pelantikan tersebut, Dendeangi diberi gelar Tongki Puu Wonua sebagai tokoh pemimpin baru sedangkan Sawerigading diberi gelar Tari Marompu. Pusat kerajaan terletak di Tangkeno Wawolaesa (yang sekarang yang berada di daerah Pangkuri) Desa Taubonto.
Dengan menguasai wilayah yang sangat luas Dendeangi berhasil memerintah dalam kurun waku yang cukup lama dan mengalami masa keemasan.
Pada masa pemerintahan Dendeangi, Kerajaan Bombana bersifat Monarki terbuka (lepas dari interfensi Kerajaan Luwu). Kerajaan Luwu memberikan keluwesan kepada Mokole mengelola wilayahnya sendiri tanpa campur tangan dari Kerajaan Luwu.
Dalam mengelolah wilayah yang sangat luas tersebut, Kerajaan Bombana kerap kali mendapatkan ancaman perebutan wilayah kekuasaan dari kerajaan tetangga.
Akhirnya pada masa akhir pemerintahan Mokole ke III beliau membagi kepemimpinannya untuk menjaga wilayah kekuasaannya kepada ahli warisnya.
Dalam masa sulit tersebut, Kerajaan Bombana dipecah menjadi kerajaan kecil semasa akhir pemerintahan Mokole Bombana ke III yaitu Mokole Nungkulangi karena memiliki tiga pewaris, maka kerajaan Bombana di pecah menjadi tiga kerajaan, yakni:
- Kerajaan Kabena (diperintah Ratu Indaulu sebagai Mokole Kabaena Ke-I atau Raja Bombana IV).
- Kerajaan Rumbia (diperintah Ratu Tina Sio Ropa sebagai Mokole Rumbia Ke-I atau Raja Bombana IV) dan
- Kerajaan Poleang (diperintah Raja Riri Sao sebagai MokolePolean Ke-Iatau Raja Bombana IV).
Pembagian ini sekaligus mengakhiri era hierarki Kerajaan Bombana, dan dimulainya era ketiga kerajaan tadi. Pada masa kepemimpinan selanjutnya. Mokole-mokole tersebut berhasil mempertahankan wilayahnya masing-masing hingga masa pemerintahan Mokole Rumbia ke-VII.
Mokole Rumbia ke VII melepas wilayah To-ari Kendari setelah kalah perang melawan Kerajaan Konawe yang sekitar dua abad setelahnya. Demikian juga Mokole Poleang yang harus melepas wilayah To-ari Kolaka setelah kalah perang dari Kerajaan Gowa-Tallo.
Pelepasan wilayah-wilayah ini tak luput dari pengaruh para pencari rempah dari Eropa (Spanyol dan Belanda) sementara wilayah kekuasaan Mokole Kabaena tidak berkurang sedikitpun.
Ketika masa pemerintahan Mokole Kabaena VII Mokole Manjawari, terjadi persekutuan antara Ke-Mokole-an Kabaena dan Kerajaan Buton. Persekutuan tersebut disebabkan oleh kemenangan mereka dalam mengalahkan La-Bolontio yang kerap menggangggu keamanan di wilayah Kerajaan Buton.
Atas kemenangan tersebut pula. Manjawari diberi kekuasaan sampai ke wilayah Selayar yang diberi sebagai Opu Selayar (Pemilik Selayar) oleh Kerajaan Buton dan diberi gelar Sapati Manjawari (Gelar Patih Pertama Kerajaan Buton).
Kedekatan kedua kerajaan tersebut semakin erat saat Manjawari menikahkan anaknya kepada Raja Buton (Lakilaponto). Dari hasil pernikahan tersebut, lahirlah seorang raja yang menjadi cikal bakal adanya benteng Wolio, anak tersebut bernama Sangaji.
Persekutuan tiga kerajaan-kerajaan protektorat Bombana (Rumbia, Poleang, Kabaena) dengan kerajaan Luwu adalah persekutuan permanen karean semenjak kedekatan Kabaena dan Buton, Rumbia dan Poleang memutuskan bergabung dalam persekutuan kerajaan Buton (kerjasama). Kerjasama tersebut tidak mengikat kepada aturan kerajaan masing-masing.
Sumber informasi :
Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) Sulawesi Tenggara