A. Latar Belakang
Sebelum terbentuk Lembaga Adat Kesultanan Buton (LAKB) terlebih dahulu telah terbentuk Kerajaan dan Kesultanan Buton. Sebagaimana diketahui sebelum terbentuk Kerajaan di Kesultanan Buton pada abad ke 13 tepatnya sekitar tahun 1292 Masehi, hingga tahun 1960 atau abad ke 20. Itu Lahir dari keinginan beberapa tokoh Buton diantaranya:
- Drs.H.La Ode Manarfa
- La Ode Muh. Salihi
- Drs.La Ode Malim
- Drs.La Ode Saafi Amane
- AR.Zau
- Hatong
Yang telah banyak memberi sumbangan dan bantuan baik moril mampu materil, sehingga Sejarah Adat Fiy Darul Buthuni terwujud adanya keinginan ini bermula pada sekitar tahun 1956 oleh Abdul Mulku Zahari mengumpulkan naskah tertulis maupun sumber lisan dari bebagai informan diantaranya:
- Laadi Maa Faoka,Bonto Ogena Yipada
- Lam Bia,Maa Hadia Bontona Baluwu
- Maa Nusuha,Mojina Wolio
- Maa Zuhura,Yarona Kaesabu
- La Nau, Bontona Gama
- La Meko Maa Ausa,Kapala Lasalimu Mancuana
- La Ane,Yarona Kapala Tongkuno
- La Pai,Maa Baada Bontona Barangka Topa
- Wa Ode Aziza yarona Wolowa Bawine
Dari sumber-sumber tertulis maupun lisan dari beberapa tokoh ini Abdul Mulku Zahari meramunya berupa tulisan yang disebut “Sejarah Adat Fiy Darul Buthuni jilid 1,2, dan 3 dimana buku ini selesai pada tahun 1972.
Dalam buku ini diuraikan latar belakang terbentuknya Kerajaan Buton dengan Raja atau Ratu Pertamanya bernama Wa Kaa Kaa yang terdiri atas peran dan latar belakang terbentuknya Kerajaan ini.
Hal-hal penting di masa itu sejak Ratu Wa Kaa Kaa, Ratu Bulawambona, Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Mulae, dan Laki Laponto sebagai Raja ke enam dan di masa pemerintahannya hingga terbentuk Kesultanan yang selanjutnya Lakilaponto berubah nama menjadi Murhum sekaligus Kerajaan berubah nama menjadi Kesultanan.
Oleh Abdul Mulku Zahari menguraikan lengkap dari sumber-sumber lisan maupun tertulis, ditata sebagaimana sebuah karya ilmiah dengan kaidah-kaidah sebuah penulisan sejarah. Dari pengalaman sebagai juru tulis Kesultanan yang juga jabatannya sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Buton yang dilengkapi naskah-naskah tertulis dari Bonto Ogena Maa Faoka yang juga sebagai mertuanya tersusunlah sejarah itu sejak berdirinya Kerajaan Buton dengan 6 Raja dan 37 Sultan atau Sultan ke 38 La Ode Muhammad Falihi.
Tercatat dalam sejarah 37 Sultan karena Sultan Himayatudin Muhamad Saidi menjabat dua kali, yaitu Sultan ke 20 dan 23, dan karena kegigihannya melawan Penjajah Belanda di nobatkan sebagai Pahlawan Nasional yang berjuang pada tahun 1751-1752 sebagai Sultan ke 20 dan pada tahun 1760-1763 sebagai Sultan ke 23.
Dari Raja Pertama Wa Kaa Kaa hingga Raja Ke Enam Laki Laponto diuraikan tentang masa pemerintahannya, suasana sosial politik, hal-hal yang menonjol dalam pemerintahan serta peristiwa-peristiwa lain berkaitan dengan Hukum Adat, dan pembangunan sarana prasarana maupun hubungan dengan kerajaan lain.
Demikian pula diuraikan secara lengkap peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak Pemerintahan Sultan Buton Pertama Murhum hingga Sultan Buton ke 38 La Ode Muhamad Falihi. Pada masa pemerintahan Sultan ke 38 La Ode Muhamad Falihi ini juga diuraikan peristiwa keterhubungan dengan masa kemerdekaan hingga bergabungnya Kesultanan Buton dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl) hingga berakhirnya Pemerintahan Kesultanan Buton tahun 1960.
Sejak tahun itu Kesultanan Buton berada dalam Tata Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semua sistem pemerintahan yang berkaitan dengan Kesultanan berakhir adanya. Untuk sekian puluh tahun sejak tahun 1960, hingga tahun 1996 oleh tokoh masyarakat Buton mengupayakan berdirinya Kesultanan Buton berupa Lembaga Adat dalam Wilayah NKRl, namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali itu Lembaga Adat Kesultanan Buton(LAKB) tidak akan mencampuri urusan Pemerintahan Republik Indonesia, melainkan urusan adat dan budaya akan memberikan saran pada pemerintah diminta maupun tidak.
B.Terbentuknya Lembaga Adat Kesultanan Buton (LAKB)
Upaya membentuk Kesultanan Buton ini nampaknya terbentuk atas beberapa versi, tergantung siapa pembentuknya dan akhirnya terbentuklah Lembaga Adat yang tidak sesuai dengan tatanan adat yang pernah berlaku di masa lalu. Diantaranya latar belakang cara memiliki Sultan ditunjuk begitu saja, demikian pula personil perangkat adat lainnya.
Halini menimbulkan pro kontra di antara tokoh masyarakat untuk menghindari pertentangan yang berkepanjangan oleh beberapa tokoh masyarakat, diantaranya:
- La Ode H.La Afie
- Drs.H.Siradjudin Anda
- Drs.H.La Ode Abdul Hukum
- H.Rusli Rasyid
- Syamsu Baharaini,BA
- La Ode Ahmad Monianse
- H.Zaeru
- Dan lain-lain
Oleh tokoh masyarakat ini mengupayakan untuk mengkomunikasikan dengan pihak lain yang sudah membentuk Lembaga Kesultanan agar bersatu dan melakukan dengan tata cara adat yang pernah berlaku.
Namun nampaknya tidak mendapat tanggapan dari pihak-pihak yang sudah membentuk lembaganya maka pada akhirnya oleh tokoh-tokoh masyarakat tadi, membentuk Lembaga Adat (tuturaka) dalam memilih Sultan dan perangkat adat lainnya.
Nampaknya hal ini mendapat respons positif dari masyarakat khususnya pemerhati budaya, baik itu masyarakat Buton yang berada di Buton sendiri maupun masyarakat Buton di perantauan juga mendapat tanggapan positif dari Kesultanan lain di Nusantara.
C.Terpilihnya Sultan Buton ke 39 H. La Ode Muhamad Djafar,SH
Tekad dan keinginan para tokoh masyarakat dan tokoh adat bentuk tetap melestarikan nilai-nilai Adat dan Budaya Buton (tuturaka) maka terwujudlah pemimpin (Sultan) Buton bersama perangkat-perangkat adatnya sesuai ketentuan adat yang pernah berlaku, yang dilakukan baik menyangkut tata cara pencaloan Sultan (tiliki), Kambojai, Fali, Sokaiana Pau (pengumuman) calon Sultan terpilih hingga Bulilingiana Pau (pelantikan) Leongi berjalan sempurna, dan akibatnya bukan saja masyarakat Buton di Buton sendiri maupun diluar Buton justru masyarakat selain Buton sendiri memberi apresiasi terbukti kehadiran mereka pada proses adat di atas.
Dengan kemampuan sendiri tokoh-tokoh adat maupun toko masyarakat mendanai semua kegiatan bahkan masyarakat diluar orang Buton sendiri berkontribusi mensukseskan acara itu.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara juga berkonstribusi dengan bantuan dana. Dengan terbentuknya Lembaga Kesultan itu, upaya melaksanakan ketentuan adat pencalonan pemilihan semua personil adat dilaksanakan sebagaimana ketentuan adat termasuk tata cara pemakzulan Sultan maupun personil perangkat adat.
Di antara respons itu adalah adanya undangan Kesultanan oleh masyarakat Buton di perantauan, Samarindah, Irian, Maluku berupa Festifal Keraton Nusantara, di Banten, NTT, Palembang, Jogya, Solo dan lain-lain.
Serta eksis dalam kegiatan adat dan budaya di lingkup Kesultanan Buton maupun Sulawesi Tenggara berupa pemberian gelar kepada Presiden Rl Ir.H.Joko Widodo, Ketua DPR, beberapa menteri, Pejabat Gubernur, KASAD, Panglima maupun Pejabat setingkat Bupati.
D. Pengangkatan Sultan Buton Ke 40,Dr.H.La Ode Muhammad Izad Manarfa,M.Sc
Sebelum pengangkatan Sultan Buton ke 40 Dr.H.La Ode Muhammad Izat Manarfa,M.Sc, karena ketentuan adat dan pelaksanaan hukum adat yang tidak bisa ditawar-rtawar dan tidak pandang buluh oleh karena suatu ketentuan adat maka oleh perangkat adat Siolimbona karena adat dan kewenangannya memakzulkan Sultan Buton ke 39 H.La Ode Muhamad Djafar,SH yang sejak saat itu pucuk pimpinan dipegang oleh Bhaluwu Peropa sebagaimana ketentuan adat yang berlaku sambil menunggu pemilihan Sultan yang baru.
Oleh karena itulah oleh beberapa pihak dan kalangan bersama-sama menggugat Lembaga Adat atas pemakzulan H.La Ode Muhammad Djafar,SH, di antaranya penggugat ini adalah di antaranya pernah bersama-sama lembaga adat yang ada, namun karena pelanggaran adat mereka juga telah dimakzulkan.
Mereka itu beralasan karena pemakzulan Sultan hanya mengambil payung kebesaran Sultan yang oleh mereka harus diambil katuko atau tongkat Sultan, dan menganggapkan tidak syah pemakzulan tersebut dan berujung pada laporan di Pengadilan Negeri Baubau.
Di antara pelapor itu adalah juru tulisi La ode Dini, Amir Aim Bontona Katapi yang keduanya masuk pada jabatan Bonto Yinunca yang bertugas memantau semua suasana dalam istanah termasuk Sultan sendiri, apabila melakukan pelanggaran adat yang seharusnya mereka ikut tergugat karena tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Mereka mempertanyakan alasan pemakzulan Sultan yang juga seharusnya lebih mengetahui karena tugas mereka memantau atau memata-matai semua peristiwa dalam istana.
Ketika pengambilan payung oleh Sultan yang dimakzulkan H.La Ode Muhammad Djafar,SH dengan tulus menyerahkan payung, karena beliau paham ketentuan adat yang berlaku dan tidak melakukan protes atas pemakzulan itu sedangkan katuko atau tongkat Sultan tidak diambil karena tongkat itu milik pribadi Sultan, sebagaimana personil perangkat adat lainnya masing-masing milik pribadi karena pada saat itu Lembaga Adat belum memiliki dana pengadaannya.
Kalau milik pribadi itu diambil bisa saja Lembaga Adat Bonto Ogena Siolimbona dipidanakan, apalagi Sultan H.La Ode Muhammad Djafar,SH mantan Ketua Pengadilan. Adapun alasan lain pemakzulannya Sultan yang tidak diungkapkan oleh Siolimbona karena itu merupakan Aib yang harus ditutup karena Sultan adalah figur yang dihormati juga demi harga diri keluarganya yang kelak bisa memungkinkan diangkat sebagai Sultan atau jabatan lain di Kesultanan.
Selanjutnya juga sesuai ketentuan adat apabila aib ini dibuka maka berarti terbukalah aib figur panutan ini dan sebagai resikonya keluarga ini tujuh turunan tidak berhak lagi diberi jabatan (tatasi pulanga).
Dari beberapa alasan inilah dalam beberapa kali disidangkan di Pengadilan karena tidak dilengkapkan alasan-alasan tadi maka oleh Pengadilan berdasarkan alasan dan bukti tidak cukup maka diputuskan dimenangkan oleh penggugat. Hasil keputusan pengadilan inilah yang menjadi dasar penggugat bahwa merekalah yang mendapatkan legitimasi.
Inilah yang menjadi dasar penggugat bahwa merekalah yang berhak mendapatkan legitimasi. Keputusan ini tidak dieksekusi oleh Pengadilan karena itu ranah adat dan oleh mereka menggugat segera membentuk lembaga baru dengan personil baru.
Kenyataan ini terbentuk beberapa kelompok yang diantara mereka saling bertentangan bahkan saling memecat di antara mereka itu bahkan mereka itu terbentuk sampai 5 kelompok dan sudah saling memecat.
Selanjutnya oleh Lembaga Adat Kesultanan Buton tetap berjalan dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat baik di Buton sendiri maupun masyarakat Buton di perantauan serta oleh Kerajaan Kesultanan lain di Nusantara yang juga mengalami hal yang sama seperti Solo, Banten dan lain-lain.
Sementara oleh Lembaga Adat Kesultanan Buton mengetahui bahwa persoalan ini adalah masalah adat dan harus diselesaikan secara adat bukan diselesaikan dengan hukum pengadilan negeri.
Lembaga Adat penggugat menjadi tidak sah keberadaannya, karena di antara mereka sudah saling memecat dan keberadaanya sudah seharusnya sudah gugur sesuai ketentuan adat selain itu sambil menunggu hasil sedang pengadilan di tingkat pusat Sultan H.La Ode Muhammad Djafar,SH sudah mangkat sebelum keputusan keluar yang seharusnya gugur hasil sidang itu dengan sendirinya itu di antara latar belakang Lembaga Adat Kesulatanan Buton (LAKB) bertahan hingga sekarang.
E.Sultan Buton Ke 41,PYM Ir.H.La Ode Muhammad Sjamsul Qamar,MT.,IPU
Ketika Sultan Buton Ke 40 Dr.H.La Ode Muhamad Izat Manarfa,M.Sc mangkat oleh Lembaga Adat Kesultanan Buton (LAKB) sesuai ketentuan adat, maka segera semua alat-alat kebesaran Kesultanan, Payung, Tongkat, Tombak dan kelengkapan lainnya (Parinta) dibawa ke rumah Baluwu Peropa sebagai pemberi mandat pada Sultan dan sejak saat itu pelaksana pemerintahan di pegang oleh Bhaluwu Peropa sambil menunggu malam ke 120 hari Sultan yang merangkat untuk menjadwalkan pemilihan Sultan.
Dalam suasana seperti ini oleh penggugat dengan anggota sudah saling memecat baru hari ke 40. Sultan Ke 40 mangkat segera memiliki Sultan versi mereka. Oleh mereka melakukan rekayasa-rekayasa seakan telah mendapatkan dukungan Barata (semacam 4 daerah otonom) Kesultanan Buton yang pada akhirnya mereka itu satu persatu mengundurkan diri.
Melihat kenyataan ini oleh Pj.Walikota Baubau, Dr.Muhammad Rasman Manafi berupaya agar disatukan kedua lembaga ini agar islah. Entah apa dalam perjalanan melaksanakan ibadah haji Pj.Walikota oleh lembaga adat tadi segera mengadakan pemilihan sultan di dahului proses falih di Masjid Agung Keraton yang ada dalam ketentuan adat proses Falih itu hanya bisa dilakukan oleh Siolimbona tapi kenyataannya hadir bersama pejabat setingkat Kaomu, Kapitalau, Bonto Ogena mantan pegawai Syarah Masjid Keraton dan beberapa lainnya yang seharusnya sesuai adat tidak boleh, akhirnya dibubarkan oleh Pemerintah Kota Baubau, tapi justru dilanjutkan proses Falih di Masjid Wawoangi Kecamatan Sampolawa Kabupaten Buton Selatan dan hasilnya melahirkan Sultan mereka sekarang ini, Drs.H.La Ode Kariu.
Sekembalinya Pj.Walikota Baubau dari menunaikan Haji di upayakan Islah agar dipersatukan kedua lembaga ini dan keduanya pun sepakat untuk islah dengan cara semua personil dibagi dua untuk diisi oleh lembaga yang akan islah dengan nama Lembaga Adat Kesultanan Buton (LAKB) versi Dr.H.La Ode Muhammad lzat Manarfa,M.Sc sebagai LAKB versi Baadia dan Lembaga Adat yang merekayasa banyak hal tadi dengan nama LAKB versi Rau.
Kesepakatan di antaranya, jabatan Siolimbona dibagi dua masing-masing versi mendapatkan 4 (empat) orang dan yang satunya dipercayakan pada Drs.H. Siradjudin Anda dan Drs.H.Abdul Wahid sebagai Bonto Ogena.
Dari sini muncul persoalan di mana pertama Bonto Ogena Drs.H.Abdul Wahid memasukan nama-nama yang sebelumnya bersama Lembaga Adat versi Baadia dan sudah dimakzulkan dan mendapat protes dari Kadie dalam hal ini pejabat ditingkat desa dan kampung karena telah memasukan nama-nama yang cacat hukum adat.
Mereka mengancam keluar dari lembaga adat dan membentuk sendiri lembaga di tingkat Kabupaten Buton Selatan. Bukan itu saja oleh Bonto Ogena Drs.H.Abdul Wahid dalam merekrut personil menyalahi kewenangannya dengan menghadirkan kaomu yang idealnya itu kewenangan Siolimbona, selain itu dibuat pula kriteria-kriteria yang bertentangan dengan ketentuan adat diantaranya tidak boleh ada yang berhaluan politik, ASN, TNI, POLRI dan segera menggantikan anggota dari pihaknya menggatikannya anggota dari pihaknya yang sudah dimakzulkan karena kesalahan adat.
Sudah jelas dimaksudkan untuk mengganjal personil dari versi Baadia yang ada yang menjadi pimpinan partai, ASN, TNI, POLRI. Sementara dalam sejarah justru Sultan Buton Ke 37 La Ode Hamidi sebagai pimpinan Partai PNI, Sultan Ke 38 La Ode Muh.Falihi sebagai pimpinan partai Masyumi dan Lakina Lapandewa sebagai anggota kepolisian setelah mendapatkan penjelasan ini akhirnya batal semua usul mereka hal ini membuktikan kalau mereka tidak paham aturan adat yang berlaku.
Mereka juga memasukan anggota yang pernah tersandung hukum masalah korupsi. Keadaan ini tidak menyurutkan rekayasa mereka karena merasa direspons pemerintah Kota Baubau baik dana maupun kewenangan.
Kenyataan ini oleh Lembaga Adat Versi Baadia memajukan permintaan pada Kubuh versi Rau agar beberapa nama yang bermasalah di evaluasi ulang di versi Rau, mengingat ancaman pihak Kadie yang memilih keluar dari Lembaga Adat dan membentuk lembaga adat sendiri apabila nama-nama yang bermasalah tidak digantikan.
Maka oleh Lembaga Adat versi Baadia mengutus seorang Bonto Peropa untuk meminta versi Rau agar beberapa nama yang bermasalah digantikan yang juga oleh anggota mereka juga. Akan tetapi tidak mendapat tanggapan yang justru versi Rau cenderung memilih Sultan dengan tetap personil yang bermasalah tadi dengan tidak menghiraukan usul dari versi Baadia.
Maka sejak saat itu benih perpecahan sudah semakin muncul dengan tidak menghiraukan persoalan-persoalan yang ada. Dari kenyataan ini maka Lembaga Adat versi Baadia segera menyatakan sikap untuk tidak islah berupa pernyataan tertulis kepada Pj.Walikota Baubau Dr.Muh.Rasman Manafi,oleh Pj.Walikota menyatakan dengan pernyataan sikap ini, bahwa beliau berhenti melangkah dalam arti tidak dilanjutkan lagi islah.
F. Prosesi Pencalonan,Pemilihan,Pengukuhan Sultan Buton Ke 41,PYM Ir.H.La Ode Muhammad Sjamsul Qamar,MT.,IPU
Setelah upaya Islah yang diprakarsai oleh Pj.Walikota Baubau tidak terlaksana maka Lembaga Adat Kesultanan Buton versi Baadia segera melengkapi personil-personil perangkat adat yang sebelumnya sempat dikeluarkan karena tuntutan islah yang mengharuskan dikeluarkan sebagai anggotanya demi memasukan personil Lembaga Adat Versi Rau oleh karena Lembaga versi adat Baadia memiliki keanggotaan yang lengkap maka ketika direkrut melengkapi personil yang sempat dikeluarkan tidak mendapat kesulitan.
Oleh Lembaga Adat Kesultanan Buton Versi Baadia segera mengadakan persiapan untuk pemilihan Sultan dan dengan dibekali pengalaman memilih Sultan Ke 39 dan 40, maka tidak mendapat kesulitan untuk melaksanakannya yang pada akhirnya terpilihlah Sultan Buton yang ke 41.PYM Ir.H.La Ode Muhammad Sjamsul Qamar,MT.,IPU bersama perangkatnya hingga sejak bulan Oktober 2024.
Sejak terpilihnya Sultan Buton ke 41, telah mengikuti beberapa kegiatan Nasional di Solo, menghadiri Kegiatan di Barata Muna, Kulisusu dan beberapa daerah Kadie di Kabupaten Buton dan Buton Selatan.
Hingga saat itu PYM Sultan Buton mengadakan Safari Ramadhan bersama perangkatnya ke Masjid tertentu di Kota Baubau.
Dalam rangka Safari Ramadhan ini ada beberapa Masjid yang meminta agar Sultan dan perangkatnya berkenan mengunjungi Masjidnya untuk Shalat Jum’at ataupun Taraweh.
Demikian secara singkat di kisahkan keberadaan Kerajaan hingga Kesultanan Buton dahulu hingga sekarang.
Sumber : Majelis Adat Kerajaan Nusantara Sulawesi Tenggara bulan April Tahun 2025