Opini : Hukum Dalam Islam Ucapkan Selamat Natal dan Memakai Atribut Keagamaan Non-Muslim

Foto Kolase Ucapan Selamat Natal dan Karyawan Muslim Memakai Artibut Keagamaan Non-Muslim

Hukum mengucapkan selamat Natal sering kali menjadi perbincangan maupun pertanyaan bagi orang muslim. Sebabnya, pada saat hari besar keagamaan, orang-orang akan memberi ucapan sebagai bentuk toleransi.

Biasanya, Ucapan pada hari besar keagamaan ini diucapkan juga oleh para tokoh masyarakat, tokoh pemuda maupun para pejabat. 

Hal ini telah menjadi budaya pada sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk pada momen Natal yang dirayakan pada setiap tanggal 25 Desember.

Lantas, apakah hukumnya sebagai umat muslim jika  kita mengucapkan  Selamat Natal ? Apakah diperboleh atau tidak ? 

Yuk Simak penjelasan berikut ini, beberapa kutipan yang saya ambil dari beberapa pemuka agama, ulama, ustaz dan mengandung dalil-dalil terkandung Dalam Al-Quran. 

Hukum Mengucapkan Natal Bagi Umat Muslim

Dikutip dari E-jounal UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, Syaikh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin mengharamkan tindakan mengucapkan selamat Natal pada non-muslim. 

Beliau menyebutkan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir dengan ucapan selamat Natal atau lainnya yang berkaitan dengan perayaan agama mereka hukumnya haram.

Pandangan itu juga dikemukakan oleh Ustaz Adi Hidayat. Pandangan terkait larangan mengucapkan selamat Natal didasarkan pada pemahaman bahwa Natal merupakan bentuk ibadah yang memiliki unsur berbeda, terutama dalam hal konsep ketuhanan dan penyembahan. 

Dalam praktiknya, perayaan Natal melibatkan kegiatan seperti pergi ke gereja dan kebaktian, yang dianggap tidak sejalan dengan keyakinan Islam.

Oleh karena itu, mengucapkan selamat Natal bagi umat Muslim dianggap secara tidak langsung mengakui keberadaan Tuhan selain Allah SWT. Dengan demikian, hukum mengucapkan selamat Natal dalam pandangan Islam dinyatakan tidak diperbolehkan.

Ia menjelaskan bahwa jika Natal dipandang sebagai bentuk ibadah, maka toleransi umat Islam terhadapnya harus merujuk pada Surat Al-Kafirun ayat 6, yang berbunyi:

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِࣖ

Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun:6).

Berdasarkan ayat tersebut, umat Islam diwajibkan untuk menghormati perayaan Natal umat Kristiani tanpa mengganggu atau mencampurinya dalam bentuk apa pun.

Menurutnya, bentuk toleransi tertinggi adalah memberikan kesempatan bagi umat Kristen dan Katolik untuk menjalankan ibadah mereka dengan tenang, tanpa campur tangan, baik secara lisan, hati, maupun tindakan.

Pandangan yang Memperbolehkan  Mengucapkan Selamat Natal

Masih mengutip dari E-jounal UIN Sunan Kalijaga Yogyakata, Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal kepada Non Muslim. 

Hal ini berlandaskan pada surat Maryam ayat 33 yang berbunyi:

السَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

Arab latin: Was-salâmu ‘alayya yauma wulittu wa yauma amûtu wa yauma ub’atsu ḫayyâ

Artinya: “Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa as) pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali)”.

Menurutnya, Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik kepada golongan non-muslim yang menerima kaum muslimin, yang tidak memusuhi, tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak mengusir dari rumah serta tidak terang-terangan mengeluarkan mereka. 

Allah hanya melarang menjadikan teman orang-orang yang memerangi karena agama dan berbuat zalim.

Hal ini serupa dengan pandangan Husein Ja’far Al Haddar atau juga dikenal dengan Habib Ja’far yang disampaikannya dalam kanal resmi SALAAM Indonesia yang diunggah pada tahun 2019 silam.

Dirinya berpendapat mengucapkan selamat Natal diperbolehkan. Habib Ja’far menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW pernah mengheningkan cipta sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah seorang Yahudi. 

Ketika ditanya alasannya menghormati jenazah yang tidak seiman, Nabi Muhammad SAW menjawab bahwa kita harus menghormatinya sebagai sesama manusia.

Habib Ja’far juga menyebutkan bahwa ulama kontemporer di Indonesia seperti Ustaz Quraish Shihab dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperbolehkan umat Muslim untuk mengucapkan selamat Natal. 

Justru mengucapkan selamat Natal dinilai akan membuat hubungan antar sesama Muslim semakin harmonis.

Sebenarnya, sudah banyak pemuka agama yang menjelaskan mengenai hukum mengucapkan selamat Natal bagi umat muslim. Ada yang mengharamkan tetapi ada juga yang memperbolehkan dengan landasan tertentu.

Pengenakan Atribut Natal Untuk Promosi Bagi Karyawan Muslim

Sering kali kita melihat karyawan muslim mengenakan atribut natal untuk mempromosikan sesuatu. Biasaya karyawan ini bekerja dibidang marketing, mau itu Sales Promotion Girl/Boy, Promotor dan sebagainya. 

Biasanya mereka melakukan ini kerna tuntutan kerja yakni instruksi dari atasan. Coba saja kita berjalan di Mall atau supermarket, pasti  ada pemandangan artibut natal yang digunakan oleh karyawan toko. 

Padahal kalau ditanya agamanya ada beberapa orang yang muslim. 

Lantas, Bagaimana islam menanggapi hal ini ? Dari suatu sisi, mencari nafkah itu ibadah dan kewajiban kepada kepala keluarga, di satu sisi mereka harus mengenakan artibut Natal saat bekerja kerna instruksi atasan. 

Alasan takut pecah priring menjadi salah satu sebab, mereka harus memakai atribut Natal tersebut. 

Namun begitu, Indonesia dikenal dengan keragaman dan sikap toleransinya yang tinggi. Meski umat Nasrani minoritas, secara umum suasana perayaan keagamaan berjalan kondusif dari tahun-ke tahun. 

Tiap tahun pembahasan mengenai hukum memakai atribut Natal, dan pernak-pernik lainnya selalu menjadi perbincangan. 

Yuk Simak penjelasan berikut ini, beberapa kutipan yang saya ambil dari beberapa pemuka agama, ulama, ustaz dan dalil-dalilnya. 

Dikutip dari Ustadz Ali Zainal Abidin di NU Online, dengan judul ‘Hukum Memakai Atribut Natal’.

Sebelum memasuki bahasan, ada beberapa pertanyaan yang perlu dibahas terlebih dahulu. Apakah memakai atribut Natal termasuk dalam kategori toleransi yang masih dibenarkan oleh syara’, atau justru merupakan wujud toleransi yang berlebihan?

Seorang Muslim ketika memakai atribut Natal dapat dipastikan ia menyerupai orang non-Muslim dalam hal busana yang menjadi identitas mereka. 

Meski hal ini di atas namakan toleransi atau simpati terhadap hari raya mereka, namun jika diekspresikan dengan cara demikian maka hal tersebut tidak diperbolehkan dalam syara’.

Sebab berbusana dengan memakai atribut topi natal dan sebagainya  sudah berada di luar ranah toleransi, sebab hal ini menjadi bagian dari larangan tasyabbuh bi al-kuffar (menyerupai non-Muslim) yang diharamkan oleh syara’.

Bahkan dalam memakai atribut Natal dapat berpotensi menjadi kufur jika seandainya terdapat niatan condong terhadap agama yang merayakan hari raya-nya dengan menggunakan atribut yang ia pakai.

Penjelasan di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

“Kesimpulan yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam permasalahan berbusana dengan busana orang-orang kafir, bahwa seseorang adakalanya memakai busana mereka karena condong kepada agama mereka dan bertujuan menyerupai mereka dalam syiar kekufurannya atau berangkat bersama mereka pada tempat ibadah mereka maka ia menjadi kafir dengan melakukan hal ini. Adakalanya ia tidak bertujuan seperti itu namun ia bertujuan menyerupai mereka dalam syiar hari raya atau sebagai media agar dapat berkomunikasi dengan baik dengan mereka, maka ia berdosa dengan melakukan hal demikian. Adakalanya pula ia memakai pakaian yang sama dengan orang non-Muslim tanpa adanya tujuan menyerupai mereka maka hal ini dimakruhkan, seperti mengikat selendang dalam shalat.” (Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, Hal. 529).

Menggunakan Atribut Natal berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa rasanya tidak perlu bagi seorang Muslim khususnya orang awam untuk ikut-ikut saudara sebangsa kita yang non-Muslim untuk merayakan hari raya mereka dengan cara memakai atribut-atribut yang menjadi ciri khas mereka, karena hal ini justru akan menggerus terhadap identitas umat Islam yang adaptif terhadap umat lain tapi tetap menjaga prinsip dalam segala sikapnya.

Namun permasalahan lain terjadi ketika memakai atribut Natal ini menjadi keharusan bagi setiap karyawan yang bekerja di pasar swalayan tertentu, dan telah menjadi kebijakan dari pengelola swalayan agar karyawan mengenakan atribut Natal guna menarik perhatian pelanggan yang non-Muslim. 

Dalam kasus di atas, karyawan tetap tidak diperkenankan untuk mematuhi kebijakan dari pengelola swalayan, sebab ancaman yang disebutkan tidak sampai menjadikan pemakaian atribut Natal menjadi hal yang dilegalkan oleh syara’.

Mengingat tasyabbuh bil kuffar (menyerupai non-Muslim) hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat atau ikrah, sedangkan ancaman yang disebutkan di atas masih belum mencapai tahapan ini.

Kecuali memang ketika dia dipecat, ia sudah tidak dapat mencari pekerjaan di tempat lain, yang akan menyebabkan dirinya menjadi kelaparan dan kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka dalam hal ini diperbolehkan. Meskipun kasus demikian sangatlah sedikit ditemukan.

Dengan demikian, bagi karyawan muslim tetap wajib untuk menolak memakai atribut Natal, dengan segala risiko yang ditanggungnya. 

Sebab hal ini sudah bukan dalam ranah toleransi yang dibenarkan oleh syara’. Dan InsyaAllah nantinya ia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik atas ketaatannya dalam menjauhi larangan syara’. Wallahu a’lam.

Hukum Menggunakan Atribut Natal, Bagaimana Karyawan yang ‘Terpaksa’ karena Perintah Perusahaan?

Umat Islam, misalnya, pekerja, kerapkali mengenakan atribut agama lain saat perayaan agama tersebut. Misalnya, karyawan sebuah mal yang mengenakan atribut Kristen jelang perayaan Natal. Bagaimana hukumnya?

Fatwa MUI tentang Hukum Menggunakan Atribut Seperti Topi Natal dan Sebagainya. 

Komisi Fatwa MUI pada 14 Rabi’ul Awwal 1437 H14 Desember 2016 M. Fatwa MUI tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Nonmuslim:

Pertama: Ketentuan Umum

Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Kedua: Ketentuan Hukum

  1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
  2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.

Ketiga : Rekomendasi

  1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umatberagama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
  2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
  3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
  4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
  5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islamsebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
  6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Ketiga: Ketentuan Penutup

  1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
  2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untukmenyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal : 14 Rabi’ul Awwal 1437 H14 Desember 2016 M

 

Penulis : Sulaiman

Mahasiswa Universitas UIN Alauddin Makassar

Related posts